Penguasa dalam ajaran agama Islam dipilih untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam dan sekaligus mengemban dakwah penting penyebaran ajaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia. juga, penguasa dipilih untuk berjihad menghadapi negara-negara imperialis yang mayoritas secara fisik menghalangi perkembangan Islam di belahan dunia.
Dengan kata lain bisa dikatakan, para penguasa pasca wafat-nya Rasul kita Rasulullah Muhammad saw. adalah manusia biasa; mereka tidak mendapatkan wahyu dari-Nya. Kesalahan dapat saja terjadi pada mereka. Bahkan, kezaliman bukan mustahil dilakukan oleh mereka. Nabi saw. sendiri pernah menyatakan:
«وَإِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ»
Sesungguhnya Imam itu adalah benteng; tempat orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah yang Mahagagah dan berbuat adil maka ia akan mendapatkan pahala. Namun, jika ia memerintahkan selain itu maka tindakannya itu akan menimpanya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Lalu paradigma hubungan antara rakyat dan penguasa dalam Islam menjadi berbeda dengan demokrasi. yaitu dalam demokrasi, penguasa diangkat oleh rakyat, baik melalui sistem perwakilan atau dipilih langsung. Kekuasaan diserahkan oleh rakyat kepadanya. Tugas penguasa dalam demokrasi adalah melaksanakan kehendak rakyat tentunya.
Dalam hal ini, Islam memiliki pandangan berbeda dalam hal demokrasi. Rasulullah SAW. banyak memberikan penjelasan bahwa rakyat dipilih dari rakyat dan oleh rakyat. Penguasa dipilih bukan untuk menerapkan kehendak rakyat, melainkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat, bila dikaji dari kenyataannya yang ada.
Jadi, kewajiban penguasa yang dipilih rakyat itu adalah menerapkan hukum Islam yang diturunkan oleh Allah Pencipta manusia hingga terwujud kemaslahatan bagi rakyat. Secara i‘tiqâdi, hukum syariah inilah yang pasti mendatang-kan kemaslahatan. Siapa saja yang berpaling dari peringatan dan ajaran Allah tersebut akan mendapatkan kehidupan yang serba sempit (QS Thaha [20]: 124).
Jadi, kewajiban penguasa yang dipilih rakyat itu adalah menerapkan hukum Islam yang diturunkan oleh Allah Pencipta manusia hingga terwujud kemaslahatan bagi rakyat. Secara i‘tiqâdi, hukum syariah inilah yang pasti mendatang-kan kemaslahatan. Siapa saja yang berpaling dari peringatan dan ajaran Allah tersebut akan mendapatkan kehidupan yang serba sempit (QS Thaha [20]: 124).
Dengan demikian, kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada penguasa dan diperuntuk-kan demi mewujudkan kemaslahatan umat berakar pada hukum syariah dan atau kehendak rakyat yang tidak bertentangan dengan hukum syariah. Berdasarkan hal ini, Rasulullah saw. mencontohkan bahwa yang dapat menyebab-kan tercabutnya mandat kekuasaan dari Khalifah bukanlah kehendak rakyat, melainkan pelanggaran Khalifah terhadap hukum syariah.
Pertanggungjawaban Dua Dunia
Penguasa dipilih rakyat untuk menerapkan syariat Islam demi terwujudnya kemaslahatan rakyat di dunia dan akhirat. Karena itu, pertanggungjawaban seorang penguasa dalam Islam merupakan pertanggungjawaban dua dimensi, yakni dimensi dunia dan akhirat. Di akhirat, seluruh tindakannya selama memimpin akan dimintai pertanggung-jawabannya oleh Allah Pencipta alam. Rasulullah saw. bersabda:
«اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya; ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Penguasa manapun yang sadar akan pertanggungjawaban ini niscaya tidak akan berani melanggar apalagi menentang hukum syariah. Ia tentu berpikir beribu-ribu kali untuk mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan atau menzalimi rakyat.
Adapun di dunia, pertanggung-jawaban itu dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama: pelurusan. Pelurusan ini dilakukan dengan cara mengoreksi penguasa, baik dilakukan oleh rakyat secara umum, partai politik, maupun Majelis Umat. Sikap, tindakan, keputusan, dan ketetapan penguasa dikoreksi setiap waktu. Koreksi sebagai aktivitas amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa diwajibkan oleh Allah Swt. (QS Ali Imran [3]: 104, 110). Hal ini akan menghasilkan pelurusan terhadap perilaku dan kebijakan penguasa sedemikian rupa hingga penguasa tidak mengabaikan tanggung jawabnya.
Kedua: pengadilan. Penguasa Islam adalah manusia, bukan malaikat. Penyimpangan terhadap hukum syariah (seperti korupsi, penerapan hukum bukan Islam, dll) atau tindak kezaliman (seperti penggusuran, penjualan aset umum dengan privatisasi, dll) sangat mungkin terjadi. Semua itu diperintahkan Allah Swt. untuk dikoreksi. Jika setelah dikoreksi tetap saja penguasa tidak berubah maka rakyat, partai politik, atau Majelis Umat dapat mengadukan hal tersebut kepada Mahkamah Mazhalim. Mahkamah inilah yang akan meneliti dan mengevaluasinya, memintai pertanggung-jawaban penguasa dan mengadilinya, bahkan—jika fakta mengharuskan—memutuskan pergantian khalifah.
Adapun penguasa di bawah Khalifah bertanggung jawab kepada Khalifah. Jika Mayoritas anggota Majelis Umat, misalnya, mengusulkan seorang penguasa daerah untuk diganti, maka Khalifah harus menggantinya.
Pertanggungjawaban seorang penguasa tidak terbatas di dunia, melainkan juga sampai akhirat. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
Apakah mereka tidak mengetahui konsekuensi dan risiko menjadi pemimpin? Rasulullah saw. Jauh-jauh hari telah memperingatkan para penguasa yang lari dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat dan tidak bekerja untuk kepentingan rakyatnya, beliau bersabda:
“Siapa saja yang diberi oleh Allah kekuasaan untuk mengurus urusan kaum Muslim, kemudian tidak melayani mereka dan memenuhi kebutuhan mereka, Allah pasti tidak akan melayani dan memenuhi kebutuhannya.” (HR Dawud)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar